Pikirkan lagi faktor-faktor penting lainnya
Seperti disebutkan sebelumnya, ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan istri sebelum minta cerai. Mulai dari kondisi psikis anak, hingga faktor ekonomi keluarga. Pikirkan matang-matang soal faktor ini sebelum memutuskan, supaya tidak membuat keputusan yang keliru ya, Bunda.
Berikan waktu untuk berpikir bagi diri sendiri, jika perlu libatkan konselor pernikahan. Jangan terburu-buru membuat keputusan cerai, karena efeknya justru bisa sangat mengganggu di kemudian hari.
Seperti dikutip dari Your Tango, ada baiknya Bunda juga memberikan waktu bagi suami untuk memberi penjelasan. Terutama jika ia sudah mengetahui niat cerai yang terpikirkan oleh Bunda. Ini penting guna melihat apakah masih ada niat meneruskan pernikahan dari sisi suami.
Pertimbangkan baik-baik sebelum meminta cerai ya, Bunda!
Simak juga video hikmah perceraian di mata Kirana Larasati:
[Gambas:Video Haibunda]
Perlu diketahui bahwa dalam mazhab Syafi’i yang dianut mayoritas umat Islam di Indonesia, perkataan “Saya cerai kamu” yang diucapkan suami itu sudah termasuk cerai dalam hukum Islam, walaupun belum masuk di persidangan perceraian di kejaksaan.
Artinya, ketika sudah mengatakan demikian, secara fikih, suami itu sudah tidak boleh melakukan hubungan suami istri, kecuali sudah rujuk terlebih dulu. Karenanya, untuk hati-hati, para suami jangan sembarangan mengucapkan kata cerai kepada istrinya.
Begitupun istri, jangan mudah meminta cerai kepada suami karena masalah sepele dalam rumah tangga. Dalam hal ini Rasulullah SAW pernah bersabda,
“Seorang istri yang mudah meminta cerai suaminya hanya karena permasalahan sepele, maka dia tidak akan mencium baunya surga” (HR Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Artinya, istri yang dengan mudah meminta cerai pada suaminya dikhawatirkan tidak akan masuk surga bersama suaminya yang saleh.
Karenanya, ulama mengklasifikasi permasalahan apa saja yang memperbolehkan istri menggugat atau meminta cerai pada suaminya.
Pertama, suami sering melakukan kekerasan fisik dan seksual terhadap istri, sehingga membuatnya cacat. Kedua, suami sering meninggalkan salat, berjudi, mabuk, main perempuan. Ketiga, suami tidak memenuhi kebutuhan sandang dan pangan anak dan istri selayaknya, padahal ia mampu. Keempat, suami enggan memenuhi kebutuhan biologis istri padahal ia mampu.
Karenanya, alangkah baiknya bila suami atau istri tidak mudah mengucapkan kata cerai. Apalagi jika masih dapat dikomunikasikan dengan baik di antara keduanya. Bila perlu, keduanya mendatangkan orang lain untuk mendamaikan perseteruan rumah tangganya. Wallahu a’lam.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul
Lihat perubahan sikap suami
Sebelum meminta cerai, perhatikan dulu bagaimana sikap suami setelah ketahuan selingkuh. Apakah ada perubahan menuju arah lebih baik atau penyesalan yang mendalam? Bisa jadi selingkuh terjadi sesaat dan suami sebenarnya masih ingin melanjutkan pernikahan, serta mau berkomitmen untuk tidak mengulanginya lho, Bunda.
Suara.com - Dalam menjalani kehidupan rumah tangga, tak jarang terjadi masalah, bahkan timbul peristiwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Tak jarang, orang yang mengalami KDRT memilih untuk mengajukan cerai terhadap pasangannya. Lantas bagaimana hukum Islam minta cerai karena KDRT?
KDRT merupakan sebuah tindakan pelanggaran hukum dalam Undang-Undang positif, hal ini diatur pada UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) dengan hukuman pidana 5 tahun dan denda Rp15 juta.
Selama ini, KDRT identik dengan tindakan yang mengarah pada perbuatan kriminalis seperti pemukulan, penamparan, penganiayaan, intimidasi, dan hal yang melukai badan lainnya. Namun KDRT juga bisa bersifat spiritual emosional, dan perkara-perkara yang tidak kasat mata. Nah, di dalam Islam hukum mengenai KDRT juga telah dijelaskan oleh beberapa ulama.
Hukum Islam Minta Cerai Karena KDRT
Baca Juga: 10 Tanda Pelaku KDRT Tidak Akan Berubah, Seperti Armor Toreador Suami Cut Intan Nabila?
Salah satu hukum KDRT dalam Islam dijelaskan oleh Buya Yahya, dalam tayangan di kanal YouTube Al-Bahjah TV, yang diunggah pada tanggal 20 Desember 2020. Beliau menanggapi terkait hukum KDRT di dalam Islam.
Apabila benar seorang istri sudah mengabdi bahkan merajakan seorang suami, maka ia tidak termasuk istri yang durhaka. Sebaliknya, bila istri sudah bersikap demikian namun sang suami justru menyepelekan bahkan bersikap kasar hingga memukul, maka bisa dibilang ia termasuk suami yang durhaka.
Oleh sebab itu, istri yang dipukul boleh mengajukan cerai kepada suami. Jangankan dipukul berkali-kali, baru dipukul satu kali saja istri sudah diperkenankan untuk meminta cerai kepada suami. Karena sejatinya perempuan ada bukan untuk dipukuli.
Lebih lanjut, menurut Buya Yahya, meminta tolong kepada orang lain saat dizalimi itu bukan perbuatan yang salah. Selain itu, kita juga diperkenankan cerita kepada orang yang akan bisa menolong, asalkan seperlunya dan tidak menggunjing.
Akan tetapi, sebelum mengajukan gugatan cerai, Buya Yahya mengingatkan tentang bahaya perceraian. Salah satunya yaitu kemampuan hidup seorang perempuan setelah ia menyandang status janda. Sebab setelah cerai, seorang wanita tidak bisa menyalurkan kebutuhan batin seperti saat masih berumah tangga.
Baca Juga: Wajib Tahu Jenis-Jenis KDRT, Agar Tak Bernasib Seperti Cut Intan Nabila
Di sisi lain, Ketua Lembaga Bahtsul Masail PWNU Lampung KH Munawir menjelaskan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan oleh seorang suami kepada istrinya hukumnya adalah haram. Perilaku KDRT ini bisa menjadi dasar atau alasan seorang istri menggugat cerai suaminya. Bahkan pengadilan pun bisa menjatuhkan cerai tanpa ada gugatan dari sang istri.
Itu tadi penjelasan mengenai hukum Islam minta cerai karena KDRT. Akhir-akhir ini KDRT menjadi isu yang sering terjadi dan kebanyakan korbannya adalah wanita dan anak-anak. Semoga Allah SWT menjauhkan kita dari tindakan zalim ini.
Kontributor : Putri Ayu Nanda Sari
BincangSyariah.Com – Kehidupan keluarga yang bahagia serta harmonis merupakan harapan atau keinginan siapapun yang akan dan telah menjalani kehidupan pernikahan. Setiap pasangan suami istri mendambakan kehidupan rumah tangga yang tenteram, damai dan bahagia.
Kebahagiaan pernikahan tersebut tidak akan terbangun kecuali hak dan kewajiban pasangan tersebut saling terpenuhi. Terkait dengan kewajiban suami terhadap istri misalnya, suami wajib menunaikan hak materi berupa mahar dan nafkah materi, maupun hak non-materi istri seperti memberikan nafkah batin serta berlaku adil terhadapnya. Ini seperti disebutkan Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhū (j. 9 h. 6832),
للزوجة حقوق مالية وهي المهر والنفقة، وحقوق غير مالية: وهي إحسان العشرة والمعاملة الطيبة، والعدل.
“bagi istri terdapat beberapa hak yang bersifat materi berupa mahar dan nafaqoh dan hak-hak yang bersifat non materi seperti memperbagus dalam menggauli dan hubungan yang baik serta berlaku adil.”
Ketika hak-hak dan kewajiban dalam rumah tangga tidak terpenuhi maka akan berakibat kepada keretakan rumah tangga itu sendiri, dan yang terburuk adalah mengakibatkan pernikahan tersebut menjadi berakhir dengan perceraian.
Pada prinsipnya, agama tidak menghendaki (meski tidak melarang) terjadinya perceraian setelah terjadi sebuah pernikahan. Namun, jika ada sekian faktor – termasuk tidak mampu menafkahi – yang menunjukkan kalau perceraian bagi pasangan yang menjadi kehidupan rumah tangga adalah jalan terbaik, maka agama memiliki penjelasan tentang fikih perceraian tersebut. Perceraian dibagi menjadi dua yaitu: furqotu talaq (perceraian talaq), yaitu suami mentalak istri dan furqotu faskhin (cerai gugat), dimana istri menggugat cerai suami di hadapan pengadilan. Salah satu faktor yang dibenarkan agama untuk melakukan faskh adalah kondisi jatuh miskinnya seorang suami (mu’sir) dan ia tidak lagi mampu menafkahi istrinya. Ini seperti disebutkan dalam kitab I’anatu at-Thalibin ‘ala Hill Alfāẓ Fath al-Mu’īn (j. 4 h. 98) dan Fath al-Wahhāb bi Syarh Manhaj at-Ṭullāb (j. 2 h. 147),
فرع في فسخ النكاح: وشرع دفعا لضرر المرأة يجوز (لزوجة مكلفة) أي بالغة عاقلة لا لولي غير مكلفة (فسخ نكاح من) أي زوح (أعسر) مالا وكسبا لائقا به حلالا (بأقل نفقة) تجب وهو مد (أو) أقل (كسوة) تجب كقميص وخمار وجبة شتاء
“sebuah cabang pembahasan di dalam penjelasan faskh nikah: faskh disyariatkan guna mencegah doror (bahaya) seorang istri dan faskh boleh dilakukan bagi istri yang baligh, berakal terhadap suami yang melarat akibat tidak memiliki harta, atau pekerjaan yang layak serta halal yang paling sedikit untuk kewajiban menafkahi (pangan), yaitu setidaknya satu mud. Atau tidak memiliki harta yang paling sedikit untuk kewajiban menafkahi sandang-nya istri, seperti gamis, kerudung, atau jubah untuk musim dingin.” (I’anatu at-Ṭālibīn, j. 4 h. 98)
وَلَا ” فَسْخَ ” قَبْلَ ثُبُوتِ إعْسَارِهِ ” بِإِقْرَارِهِ أَوْ بِبَيِّنَةٍ ” عِنْدَ قَاضٍ ” فَلَا بُدَّ مِنْ الرَّفْعِ إلَيْهِ ” فَيُمْهِلُهُ ” وَلَوْ بِدُونِ طَلَبِهِ ” ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ ” لِيَتَحَقَّقَ إعْسَارُهُ وَهِيَ مُدَّةٌ قَرِيبَةٌ يُتَوَقَّعُ فِيهَا الْقُدْرَةُ بِقَرْضٍ أَوْ غَيْرِهِ.
“tidak ada (boleh) faskh sebelum penetapan melaratnya suami dengan pengakuan dari dirinya atau dengan adanya bukti di hadapan Qadhi’ (pengadilan). Maka harus dilaporkan kepada Qadhi terlebih dahulu. Kemudian Qadhi’ memberi tenggang waktu kepada suami selama tiga hari, sekalipun dengan tanpa permintaannya, agar nyata kemelaratan dari suami tersebut dan itu waktu yang sebentar yang mana kemampuan ditangguhkan dengan cara mencari pinjaman atau selainnya.” (Fath al-Wahhāb bi Syarh Manhaj at-Ṭullāb, j. 2 h. 147),
Dari dua penjelasan ulama diatas, menurut hemat penulis walaupun menggugat cerai seorang istri diperbolehkan kepada suami karena jatuh miskin, namun hal ini tidak melulu dipandang dengan akal yang pendek. Oleh karena itu syariat memberikan opsi tatkala suami dalam keadaan jatuh miskin, hendaknya istri bersabar (jika bisa), dan boleh bagi istri untuk kerja mencari nafkah keluarga tatkala suami sudah tidak bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga. Artinya, perceraian bukan satu-satunya jalan yang bisa ditempuh. Meskipun hal ini bukan menafikan bahwa istri boleh saja menggugat cerai suami ketika jatuh miskin.
Saat suami ketahuan selingkuh, salah satu hal yang kerap langsung dipikirkan oleh istri adalah minta cerai. Tapi bolehkah istri minta cerai?
Paling penting, sebelum meminta cerai ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh istri. Terutama jika keluarga sudah dikaruniai oleh anak.
Seperti diketahui, kesehatan psikis dan masa depan anak masih sangat terpengaruh oleh orang tuanya. Jika perceraian tetap dilakukan dan tidak berakhir dengan baik, bukan tidak mungkin psikis anak bisa terganggu, Bunda.
Selain itu, faktor lain seperti ekonomi juga menjadi salah satu hal yang perlu dipertimbangkan sebelum istri minta cerai dari suami selingkuh.
Nah, berikut hal-hal yang perlu dipertimbangkan soal boleh atau tidaknya istri minta cerai pada suami yang selingkuh:
Pertimbangan dalam agama Islam
Dalam agama Islam, gugatan cerai dibagi menjadi dua istilah: fasakh dan khuluk. Fasakh adalah lepasnya ikatan nikah antara suami istri, di mana istri tidak mengembalikan maharnya atau memberikan kompensasi pada suaminya.
Sementara khuluk adalah pengajuan talak oleh istri, namun ia perlu mengembalikan sejumlah harta atau maharnya kepada suami. Sedikit berbeda dari talak, tidak ada rujuk dalam khuluk.